Dwi Widya's


Thumuhat Dakwah dan Tarbiyah

Posted in Dien oleh Dwi Widya pada Februari 22, 2010

Suasana Perang Ahzab begitu mencekam lantaran rasa lapar dan dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang. Persoalannya ditambah lagi dengan pengepungan orang-orang kafir beserta antek-anteknya. Namun rasa suka dan gembira tetap terbesit di wajah Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Terpancar dari raut wajah mereka perasaan optimis yang besar untuk menyambut kemenangan.

Ketika beliau bersama para sahabat menggali parit, terdapat bongkahan batu yang keras sehingga mereka menyerahkannya pada Rasulullah SAW. Beliau pun memecahkan batu tersebut dengan palu godamnya. Pukulan Rasulullah SAW. memercikkan api. Waktu itu beliau mengucapkan Subhanallah. Kejadian itupun berulang lagi hingga tiga kali. Hal ini menakjubkan para sahabat.

Kemudian Rasulullah SAW. menceritakan bahwa tatkala muncul percikan api, terpancar gambaran istana Persia disusul dengan istana Romawi dan selanjutnya istana Mauqaqis. Beliau mengatakan sebentar lagi istana Persia menjadi milik kita, istana Romawi akan kita taklukan dan istana Mauqaqis akan kita miliki. Pernyataan tersebut disambut dengan ucapan gembira dari para sahabat, Allahu akbar wa lillahilhamd.

Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, betapa Rasulullah SAW. telah mendidik para sahabatnya untuk berjiwa besar. Dengan jiwa besar, mereka mampu membangun obsesi meski dalam keadaan lapar, dingin, terkepung dan mencekam. Inilah thumuhat dakwah dan tarbawiyah (obsesi dakwah dan tarbiyah). Obsesi yang luar biasa. Tidak pernah terbayangkan oleh pikiran banyak orang ketika itu. Keadaan yang mencekam, lapar yang menggeliat, dingin yang menusuk. Namun keyakinan akan memperoleh kemenangan selalu bersama mereka. Kemenangan yang akan datang segera atau kemudian.

Perwujudan obsesi bisa datang dalam waktu yang relatif singkat dapat juga hadir di waktu mendatang. Malah realisasi dari sebuah obsesi sering tidak di cicipi oleh si pemiliknya. Memang terkadang obsesi lebih panjang dari pikiran orang bahkan ia lebih panjang dari usia manusia itu sendiri. Meski demikian obsesi selalu ada dalam dinamika kehidupan manusia, karena ia bagian dari tabiat manusia.

Keinginan-keinginan besar menjadi sebuah tabiat manusia sejak ada di muka bumi. Sejak lama kita mendengar ada ungkapan ingin memiliki dunia ini. Ada pula yang ingin hidup seribu tahun lamanya. Juga ada yang ingin bermegah-megah di muka bumi dengan segala kemewahan nya. Ada pula yang ingin menguasai kerajaan langit dan bumi dan masih banyak lagi keinginan besar lainnya. Keinginan besar ini sering pula mengarah pada hal-hal negatif namun tidak sedikit juga pada hal-hal positif. Keinginan besar yang bernilai negatif dinamakan thama’ (tamak, rakus), sedangkan keinginan besar yang bernilai positif dinamakan thumuh (obsesi).

Sifat ini merupakan bagian dari kehidupan manusia maka semua kader semestinya juga memiliki obsesi yang besar, meskipun dalam kondisi yang serba minim sarana dan prasarana. Akan tetapi satu hal yang tidak boleh terabaikan adalah bahwa obsesi ini mesti bersandar kepada karunia dan kebaikan Allah SWT. sehingga Dia menganugerahkan kepada orang-orang mukmin sesuatu yang mahal nilainya. Yakni kecerdasan imaniyah (Dzaka imany) untuk mewujudkan keinginan-keinginan besar itu. Kecerdasan imaniyah ini perlu ditopang dengan :

1. Dzaka Syu’ury (kecerdasan emosional)
Kecerdasan emosional yang dimaksud adalah kemampuan mengendalikan emosi hingga tidak mudah goyah ataupun patah dalam menghadapi berbagai tantangan.

Rasulullah SAW. bersabda: ” Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan diri dan berbuat untuk hari esok. (HR. Muslim).

Emosional terkadang cenderung mengikuti suasana yang terjadi di sekitarnya. Bahkan acap kali menggelembung histeris mengikuti irama sekelilingnya, sehingga berpotensi tidak dapat dikendalikan. Emosional yang tidak terkendali dapat mengakibatkan tumpulnya akal jernih. Dampaknya adalah muncul kepanikan sehingga kehilangan jalan solusi atas persoalan yang sedang dihadapi.

Nabi Musa as. pernah mengalaminya, ketika tiba di kampung halamannya sepulang dari negeri lain. Didapati kaumnya kembali pada perilaku yang menyimpang dari ajaran yang telah disampaikannya. Melihat kenyataan ini Nabi Musa as. sangat emosional. Nabi Musa as. menjambak jenggot Nabi Harun as. sambil marah-marah kepadanya dan melempar-lempar lembaran Taurat yang digenggamnya. Akan tetapi ketika emosinya mulai mereda Nabi Musa mengambil kembali lembaran-lembaran Taurat yang berceceran itu. (QS. Al ‘Araf: 150 – 153)

Islam mengajarkan pemeluknya untuk mencerdaskan emosi. Emosi yang cerdas memberikan manfaat besar bagi si empunya. Daya pandang yang jernih, melihat persoalan dengan pandangan jauh ke depan serta jelas dan terangnya solusi yang harus diambil. Pencapaian obsesi diperlukan juga kecerdasan emosional agar fokus-fokus sasaran yang hendak diraih dihadapi dengan perasaan dan jiwa yang tenang. Para ulama menyebutnya hal ini sebagai indera keenam, yaitu firasat mukmin. “Takutlah kamu pada firasat orang mu’min karena mereka melihat dengan cahaya Allah”. (HR. An Nasa’i)

2. Dzaka Fikry (kecerdasan intelektual)
Umat Islam dibekali Allah SWT. intelektual yang cerdas. Di antaranya daya ingat yang tajam, sistematika dalam berpikir dan merumuskan persoalan, menyikapi persoalan secara simpel dan lain sebagainya, seperti kemampuan umat Islam menghafal Al Qur’an dan Hadits serta rumusan berpikir dalam ilmu mantiq.

Keistimewaan ini karena kasih sayang Allah SWT. pada orang-orang mukmin. Keimanan yang bersemayam dalam dada mukmin menghantarkan mereka memiliki kecerdasan intelektual. Rasul SAW. memberikan indikator orang yang cerdas intelektualnya adalah Konsentrasi pada satu titik yang jelas, berpikir cerdas sehingga tidak mudah tertipu dan selalu dalam keadaan siap siaga.

“Apabila cahaya Islam telah masuk ke dalam hati maka hati akan menjadi terang dan lapang. Para sahabat bertanya: apa tanda-tandanya ya Rasulullah?. Beliau menjawab: Kembali kepada negeri yang abadi, jauh dari tipu daya dan mempersiapkan kematian sebelum datangnya kematian”. (H.R. Thabari).

Kecerdasan intelektual juga akan memberikan jalan keluar ketika menghadapi kondisi sulit. Bentuknya dapat berupa alternatif pemecahan yang beragam, menaklukkannya melalui cara yang ringan dan lain sebagainya.

Abu Bakar as. pun pernah mengalami hal yang sama ketika menyertai perjalanan hijrah Rasulullah SAW. ke Madinah. Pertengahan perjalanan Abu Bakar as. berjumpa dengan peserta sayembara pembunuhan terhadap Rasulullah SAW. Abu Bakar as. ditanya: Siapakah orang yang berada di depanmu itu?. Abu Bakar as. menjawab: Huwal Hadi (dia petunjuk jalanku). Petunjuk jalan yang dimaksud Abu Bakar as. adalah yang menunjuki jalan dari jalan kegelapan jahiliyah kepada jalan terang benderang Islam. Sedangkan orang kafir mengira orang yang di depan Abu Bakar as. adalah guiding perjalanan.

Kecerdasan intelektual memunculkan rumusan yang aplikatif untuk mewujudkan sebuah obsesi. Karenanya peran kecerdasan intelektual sangat berarti terhadap pencapaian obsesi.

3. Dzaka Jismy (kecerdasan fisikal)
Amal Islam lebih banyak dari pada waktu yang tersedia dan sedikit orang yang dapat memikulnya. Banyaknya amal dalam Islam memerlukan orang yang siap dan mampu menunaikannya. Di antara kriterianya adalah mereka yang memiliki kecerdasan fisikal. Maksudnya adalah mereka yang mempunyai tubuh yang kuat dan sehat.

Tidak sedikit tugas dan tanggung jawab dalam Islam akan terlaksana dengan baik bila dilakukan oleh badan yang sehat dan kuat. Misalnya saja dalam beribadah, akan terasa nikmat dalam menjalankan ibadah apabila kondisi badan dalam keadaan sehat. Akan tetapi bila kondisi tubuh menurun apalagi sakit, pelaksanaan ibadah sering mengalami ketidaksempurnaan.

Hasan Al Banna sangat perhatian dalam masalah kekuatan dan kesehatan badan untuk mencapai kecerdasan fisikal ini. Perhatian beliau baik yang bersifat ajakan, pencegahan dan pemeriksaan. Kita dapat jumpai pandangan beliau dalam wajibatul akh (kewajiban al akh) di Majmu’atur Rasail.

Orang yang sehat dan kuat berpeluang menunaikan tugas dan kewajiban dengan baik. Bahkan dapat melaksanakannya secara optimal untuk mencapai afdholiyatul amal. Ia akan dapat menyelesaikan tugasnya, sanggup pula membantu tugas orang lain serta mampu memberikan kontribusi bagi banyak orang. Pantas bila Allah SWT. lebih menyukai mukmin yang sehat dan kuat dari pada mukmin yang lemah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah meskipun keduanya dalam keadaan baik”. (HR. Muslim)

Fisikal yang cerdas juga menentukan keberhasilan pencapaian obsesi. Ia akan dapat mengukur sejauh mana dan seberapa besar kemampuan diri untuk merealisasikannya. Tidak kalah penting juga ia dapat menilai kemampuan dirinya untuk menghadapi berbagai kendala.

4. Dzaka Amaly (kecerdasan operasional)
Kecerdasan operasional merupakan sikap tanggap dan cepat dalam merespon sesuatu dengan tindakan yang nyata. Sikap inilah yang mendorong seseorang untuk terdepan dalam beramal. Tidak menunda-nundanya hingga hilang kesempatan untuk menjadi pionir.

Ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk selalu menjadi yang terdepan. Baik dalam beribadah kepada Allah SWT. juga dalam bermuamalah antar manusia seperti shalat, bersedekah, beramal shalih, bergotong royong ataupun yang lainnya.

Demikian juga dalam kehidupan Rasulullah SAW banyak kita temukan riwayat tentang kesegeraan beliau untuk menunaikan sesuatu dengan cepat. Dalam suatu riwayat, sesudah shalat Rasulullah SAW. pernah segera berdiri lalu melangkahi orang lain kemudian masuk ke salah satu bilik istrinya. Para sahabat juga heran dengan kejadian ini. Tidak lama kemudian beliau segera kembali ke tempat semula, sesudah itu beliau ceritakan bahwa dia tadi teringat ada emas yang harus segera dibagi-bagikan. Maka beliau perintahkan istrinya untuk secepat mungkin membagi-bagikan emas tersebut.

Rasulullah SAW. bersabda: “Bersegeralah kalian beramal shalih sebab akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita”. (HR. Muslim)

Kecerdasan operasional membentuk si pemiliknya untuk segera berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Melalui hal ini obsesi akan relatif cepat untuk tercapai.

5. Dzaka Ijtima’iy (kecerdasan sosial)
Kehidupan manusia tidak dapat memutuskan ketergantungannya dengan pihak lain. Satu dengan yang lainnya saling memerlukan. Oleh karenanya manusia diperintahkan untuk berinteraksi dengan sesama agar berbagai kelemahan dan kekurangannya dapat saling ditopang dengan berbagai kelebihan pihak lain.

Dengan banyak bergaul kita akan menemukan potensi-potensi yang tidak ada pada diri kita. Juga dapat menemukan peluang-peluang besar untuk menutupi segala kekurangan yang ada. Dari sanalah kita mendapatkan manfaat, kesempatan-kesempatan dan peluang-peluang besar untuk menunjang kelemahan yang kita miliki.

Rasulullah SAW. bersabda: “Mukmin yang bergaul dengan banyak orang lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul apabila dia bersabar”. (HR. Muslim)

Mewujudkan obsesi terkadang kita dibantu potensi orang lain. Bahkan kita hanya merangkai kelebihan-kelebihan orang lain untuk mencapai obsesi yang kita canangkan.

6. Dzaka Tanzhimy (kecerdasan struktural)
Apabila kita memahami bahwa setiap orang membutuhkan orang lain maka segala peran yang diberikannya akan sangat bermakna bila dikokohkan oleh pihak lainnya.

Sebuah bangunan terdiri dari berbagai macam komponen, ada yang besar namun ada pula yang kecil. Semua komponen itu saling mengaitkan dengan komponen lainnya. Masing-masing fungsi dan peran yang diberikan tidak dapat dianggap sebelah mata. Posisi masing-masing elemen tidak dapat dilebih-lebihkan dengan yang lainnya. Mungkin saja komponen yang besar akan berarti bila ditopang oleh komponen yang kecil begitu juga sebaliknya.

Menyikapi persoalan ini dengan sikap yang arif bahwa kehadiran dirinya tidak akan sempurna malah mungkin tidak akan berhasil tanpa kesertaan orang lain. Peran serta ini diwujudkan dengan keyakinan bahwa potensi dirinya akan berguna bagi orang lain. Dengan begitu setiap orang menyadari bahwa ia harus berada pada posisinya masing-masing untuk keberhasilan sebuah obsesi.

Rasulullah SAW. bersabda: “Prajurit yang baik jika ditempatkan di bagian logistik dia akan tetap berada tempatnya, jika ditempatkan di garis depan dia akan berada di garis depan” (HR. Abu Daud)

Kiat-kiat Meraih Kecerdasan

Meraih kecerdasan imaniyah perlu kerja keras sehingga ia akan merefleksikan segala thumuhat kita. Adapun kiat-kiat mencapai hal itu sebagai berikut:
1. Latihan yang banyak.
Berusahalah untuk banyak latihan dalam segala hal terutama pada kemampuan diri untuk meraih kecerdasan. Latihan yang sering akan memperhalus dan mempertajam kemampuan yang kita miliki.
2. Belajar dari orang lain
Janganlah sungkan untuk belajar pada dan dari orang lain. Pengalaman orang lain dapat menjadi masukan bagi kita. Malah orang lain bisa menjadi cermin agar kita bisa mematut diri dari pengalaman mereka.
3. Mencoba sesuatu yang baru untuk meraih pengalaman.
Berusahalah untuk mencoba sesuatu yang baru. Kreativitas sering kali memberikan banyak jalan untuk mencapai keinginan-keinginan.
4. Meyakini pertolongan Allah SWT.
Tidak boleh dilupakan bahwa semua aktifitas kita akhirnya berpulang pada pertolongan dan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu yakinlah bahwa Dia akan memudahkan kita meraih thumuhat maka berdoalah kepada-Nya agar keinginan-keinginan tersebut dapat terealisir.

Semoga Allah SWT. memudahkan jalan bagi kita meraih Thumuhat Tarbawiyah. Semoga sukses.

–wallahu’alam–

KISAH CINTA SEJATI SEORANG IBU TERHADAP ANAK-ANAKNYA

Posted in Mar'ah Shalihah oleh Dwi Widya pada Februari 19, 2010

Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih
muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong dan bualan orang disekitarnya.
Maklumlah, ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair.
Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu.

Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair
mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr :

“Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada Sakhr, malang. Aku pula masih teringatkan dia setiap
mega hilang dii ufuk barat Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas
mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku.”

Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk
menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar
ilmu bersyair dna dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk
berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam.

Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cabaran.

Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang
Farsi. Semua Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka
terkumpullah seramai 41,000 orang tentera. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar
ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu.

Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas
merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam.

Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang,
“Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan
sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera
dari seorang lelaki dan seorang wanita.

Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara-maramu, aku
tidak pernah merendahkan keturuna kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu.
Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu.
Ketahuilah bahawasaya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa.”

Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, “Wahai orang
yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu,
dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung.” Putera-putera Khansa tertunduk
khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya.

Seterusnya Khansa berkata, “Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka
keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan
dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan
yang sedang bergejolak, masuklah akmu ke dalamnya.

Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat
balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal.”

Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan
perintah Allah iaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau
syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia
sebaik sahaja semboyan perang berbunyi.

Perang satu lawan satu pun bermula dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran
besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang.
Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah .

Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari
bondanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari
mereka bersyair,

“Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan
membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan
kita buktikan sedikit masa lagi.”

Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan
menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair,

“Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas
dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mush-musuh bersama-sama
Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah.”

Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair,
“Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar
bertindak cekap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap
anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri
Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang
bakal mewarisi kehidupan yang abadi.”

Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan
semangatnya ia pun bersyair,
“Bukanlah aku putera Khansa’, bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana ‘Amru yang pujiannya
sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentara asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke
jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku.”

Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa
munajat bondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya
kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan
hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu.

Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian
lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak
tentera Farsi yang lannya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka.

Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang
menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah
teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil sahaja yang dapat menyelamatkan diri.

Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung
menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang
syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa.

Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahawa
keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan
hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan,

“Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan
darii Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan
rahmat-Nya!”

Al-Khansa kembali ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan
mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair
ini mendapat gelaran kehormatan ‘Ummu syuhada yang ertinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid.”

sumber : kumpulan kisah dan nasihat
http://www.nuansahati.co.cc/2010/01/kisah-cinta-sejati-seorang-ibu-terhadap.html

Edu-socialpreneurship*

Posted in 1 oleh Dwi Widya pada Februari 9, 2010

Cita-cita masa kuliah (sekarang juga masih jadi cita-cita), disela-sela materi2 kuliah yang kadang membuat neuronku menegang dan bergetar, juga disela-sela aktifitasku bersama teman-teman dan sebagian ibu-ibu.

1. Pengen punya toko buku yang jadi one stop corner. ada toko bukunya, taman bacaannya, foodcourtnya, plus halal-thoyib center.
Mesti menentukan waktu untuk memulainya, bukan mulai gagasan lagi tapi lebih konkrit dong. Dan berharap ada yang mau jadi investor, baik konsep perencaanaan maupun modal. He he he

2. Pengen bikin sekolahan suatu saat nanti. Based on beasiswa dan swadaya masyarakat. Yang ini kebetulan sudah ada gambaran yang lebih karena ternyata ada keeluarga yang punya keinginan sama dan peluangnya lebih besar. Lokasi dah ada, konsep dah ada, bisa dibilang tinggal butuh orang yang bisa fokus nggarap plus acc dari ‘pihak yang sangat berwenang’. niy yang repot

3. Pengen bikin hasil teknologi tepat guna. Sebenarnya sudah sempat kumulai, waktu jaman skripsi. Alat yang kubuat jika mau dikembangkan lebih lanjut bisa dimanfaatkan oleh para petani. Fasilitas (fasilitator) sebenarnyapun bisa diperjuangkan, ada dosen biologi dan mipa yang siap mengawal. Tapi saat itu keinginan untuk kembali ke kota kelahiran lebih kuat. Jadi…terbengkalai. Untuk penelitian semacam ini nampaknya lebih memungkinkan dilakukan di kampus atau lembaga penelitian pemerintah. Jika di bawa ke industri bisnis, nampak kurang menjual. Hmmm. Insya Allah peluang itu tetap ada.

* entah ini kewirausahan aliran mana, begitu saja melintas istilah ini saat inget ‘citaa-citaaakuuu’ (dgn gaya nyanyi susan)

Menjadi Muslim Produktif

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Februari 6, 2010

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan tanganmu untuk bekerja. Jika kamu tidak mendapati suatu pekerjaan untuk urusan ketaatan, maka ia akan mencari beberapa pekerjaan untuk urusan maksiat”
Produktif adalah kemampuan menghasilkan produk yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Ketika Nabi SAW ditanya, siapa mukmin yang paling baik, beliau menjawab: ”Yang paling bermanfaat bagi sekitarnya (Naafi’un, Lighoirihi)”. Produktifitas, kini menjadi tuntutan bagi setiap muslim. Dakwah Islam akan menang, kalimahnya akan tegak di bumi jika dilakukan oleh para da’i yang produktif hidupnya.

Hakikat Bekerja
Al ’Amal Huwal Asas!, begitu ungkapan hikmah. Bekerja akan berbicara lebih keras dari perkataan (Action Speaks Loder Than Words). Kontribusi lebih berarti daripada mencaci. Produktifitas melakukan proses kerja dan usaha. Bekerja berarti malakukan suatu amal, berbuat dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain maupun bagi agama, bangsa dan negara.
Islam sangat menghargai dan memulyakan kerja. Orang yang berkerja menghidupi dirinya, keluarganya , bahkan demi kesejahteraan masyarakatnya, di mata Allah jauh lebih utama ketimbang seorang ’abid yang mengabaikan kerja. Sikap malas adalah aib bagi manusia dan itulah yang kelak menjadi sebab kemerosotannya. Allah berfirman: ”Jika kamu selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah:10)
Nabi pun bersabda:”Orang yang bekerja keras demi keluarganya adalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah azza wa jalla” (HR.Tabrani, Baihaqi dan Ahmad)
Dari dalil-dalil di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan aspek amal dan etos kerja positif. Bekerja berarti memberikan pengaruh besar bagi kemajuan dan perkembangan. Bekerja adalah satu-satunya sarana untuk menundukkan kekuatan alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin demi kesejahteraan umat.
Orang-orang besar dalam Islam bekerja dengan baik . Tak satupun nabi yang diutus di dunia ini yang tidak bekerja. Nabi Muhammad menggembalakan kambing, berdagang. Nabi Daud seorang pandai besi, Nabi Adam bercocok tanam, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang pakaian. Umar bin Khattab terbiasa mengangkut air dengan girbah untuk kepentingan keluarganya. Fatimah, anak Nabi, sering memutar batu penggiling hingga tangannya berbekas atau mengambil air dengan girbah hingga pundaknya luka. Imam Malik aktif berdagang, sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sibuk menasakh, meneliti dan menyusun kitab-kitab. Imam Ahmad bin Umar, penyusun kitab tentang pajak tanah berprofesi ”penambal sepatu”. Ia menyelesaikan kitab di sela-sela kesibukannya sebagai penambal sepatu.

Bekerja dunia akhirat
”Dialah Allah yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik pekerjaannya.” (QS.Al Mulk:2)
Allah menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia, siapa yang terbaik pekerjaannya selama di dunia. Memahami hakikat mati dan hidup adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan dunia dan akhirat kelak. Meninggalkan salah satunya hanya akan membawa bencana. Allah menekankan manusia agar memperhatikan dan menghargai kehidupan dunianya, di samping kehidupan akhirat yang memang seharusnya lebih dominan.
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kami lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS.Al Qashas:77)
”Yang terbaik di antaramu bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya, dan yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya, dan dia tidak menyusahkan manusia” (Al Hadist al Khatib dari Anas)

Syarat-syarat Produktifitas
Produktifitas dalam kehidupan umat Islam tentu saja tidak akan terwujud begitu saja. Berikut ini beberapa aspek yang dapat dilakukan dalam bekerja, antara lain:

1. Setiap muslim hendaknya selalu meningkatkan kualitas dirinya.
Jadilah manusia pembelajar! Karena hanya dengan belajar, setiap pribadi dapat meningkat kualitas dirinya, tumbuh dan berkembang, baik dari segi akal, ruhani maupun jasad. Aktifitas belajar dilakukan agar manusia secara alamiah berproses menjadi lebih dewasa dan berkualitas dalam menghadapi dan menilai kehidupannya.
Produktifitas sejalan dengan kualitas. Berkualitas berarti memiliki kemampuan. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan kemampuan; yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan (skill). Meningkatkan kualits diri adalah selalu belajar mematangkan ketiga hal tersebut.

2. Setiap muslim hendaknya me-menej waktu dengan baik
Asy-Syahid Hasan Al Banna mengatakan, ”Waktu adalah kehidupan”. Hasan Al Basri menasehato ”Sesungguhnya kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hati milikmu pergi, berarti pergilah sebagian dirimu. Waktu berjalan dan mustahil kembali. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, karena menyiakannya termasuk tindakan jahil. Rasulullah SAW bersabda: ”Dua macam nikmat dari beberapa nikmat Allah yang banyak menipu manusia adalah nikmat kesehatan dan kekosongan (kesenggangan)” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

3. Bertawkakal Hanya kepada Allah
Tawakkal kepada Allah saat bekerja penting untuk membangun produktifitas. Tawakkal adalah bersandar kepada Allah, mengaitkan hati pada-Nya, memperhitungkan sebab-musabab dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah semata. Konsep tawakkal dapat mendorong manusia menyisingkan lengan baju. Bersungguh-sungguh dalam berkiprah dan bekerja seraya mengharapkan hasil maksimal dari usaha yang telah dia korbankan, bukannya menanti takdir dari langit tanpa berusaha yang akibatnya mendorong manusia ke kemalasan dan kehancuran hidup. Nabi SAW bersabda: ”Upayakan dahulu masalahnya, lalu bertawakallah” (HR.Turmudzi

4. Kesesuaian antara Pekerjaan dengan Kecendurangan Aktualisasi Diri
Pekerjaan akan efektif dan produktif jika dicintai bukan dipaksakan.

Melakukan pekerjaan dibenci berarti melakukan ua kerja keras. Pertama mencoba mencintai pekerjaan itu, lalu melakukan pekerjaan itu sendiri. Jika seseorang yang mencitantai pekerjaannya maka dia telah mendayagunakan potensinya untuk beraktifitas, melaksanakan gagasan sekaligus mengaktualisasilkan dirinya.

5. Tidak bekerja dalam kelelahan
Seseorang akan bekerja dengan efektif ketika berada dalam kondisi sehat dan segar. Ada dua macam kelelahan: kelelahan fisik dan kelelahan pikiran. Keduanya saling berhubungan. Fisik yang terlalu lelah akan mengakibatkan emosi tidak stabil dan membuat otak tak mampu berpikir jernih. Bekerja dalam keadaaan lelah (fisik dan pikiran) selain mendzalimi diri sendiri juga dapat menyebabkan kejenuhan dan menggagalkan produktifitas. Rasul bersabda: ”Sesungguhnya pada badanmu terdapat hak-hak yang harus dipenuhi” (HR.Muslim)

6. Memanfaatkan Teknologi
Teknologi hadir untuk memudahkan pekerjaan. Darimanapun datangnya, ia adalah hikmah bagi umat Islam untuk dijadikan sarana mengefisienkan dan mengefektifkan usaha. Dengan teknologi, kerja akan jadi lebih produktif, hemat waktu dan tenaga.
Akhirnya, hidup ini hanya sekali. Kehidupan menurut al Qur’an adalah sesuatu yang menipu dan sekedar perhiasan di balik gemerlapnya. Akab lebih sia-sia jika tidak diisi dengan kontribusi. Ayo berbuat, ayo bekerja. Di bumi ini tidak ada tempat sama sekali bagia yang tidak mau bekerja dan berjuang dalam kehidupan. Wallahu a’lam
”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (At Taubah:105)

Oleh: Novi Hardian (Training Development ILNA Learning Center)

Sumber: Majalah Al Izzaah No.13/Th.2, 31 Januari 2001