Dwi Widya's


Menjadi Muslim Produktif

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Februari 6, 2010

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan tanganmu untuk bekerja. Jika kamu tidak mendapati suatu pekerjaan untuk urusan ketaatan, maka ia akan mencari beberapa pekerjaan untuk urusan maksiat”
Produktif adalah kemampuan menghasilkan produk yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Ketika Nabi SAW ditanya, siapa mukmin yang paling baik, beliau menjawab: ”Yang paling bermanfaat bagi sekitarnya (Naafi’un, Lighoirihi)”. Produktifitas, kini menjadi tuntutan bagi setiap muslim. Dakwah Islam akan menang, kalimahnya akan tegak di bumi jika dilakukan oleh para da’i yang produktif hidupnya.

Hakikat Bekerja
Al ’Amal Huwal Asas!, begitu ungkapan hikmah. Bekerja akan berbicara lebih keras dari perkataan (Action Speaks Loder Than Words). Kontribusi lebih berarti daripada mencaci. Produktifitas melakukan proses kerja dan usaha. Bekerja berarti malakukan suatu amal, berbuat dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain maupun bagi agama, bangsa dan negara.
Islam sangat menghargai dan memulyakan kerja. Orang yang berkerja menghidupi dirinya, keluarganya , bahkan demi kesejahteraan masyarakatnya, di mata Allah jauh lebih utama ketimbang seorang ’abid yang mengabaikan kerja. Sikap malas adalah aib bagi manusia dan itulah yang kelak menjadi sebab kemerosotannya. Allah berfirman: ”Jika kamu selesai menunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah sebagian karunia Allah” (QS. Al Jumu’ah:10)
Nabi pun bersabda:”Orang yang bekerja keras demi keluarganya adalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah azza wa jalla” (HR.Tabrani, Baihaqi dan Ahmad)
Dari dalil-dalil di atas, terlihat bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan aspek amal dan etos kerja positif. Bekerja berarti memberikan pengaruh besar bagi kemajuan dan perkembangan. Bekerja adalah satu-satunya sarana untuk menundukkan kekuatan alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin demi kesejahteraan umat.
Orang-orang besar dalam Islam bekerja dengan baik . Tak satupun nabi yang diutus di dunia ini yang tidak bekerja. Nabi Muhammad menggembalakan kambing, berdagang. Nabi Daud seorang pandai besi, Nabi Adam bercocok tanam, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar terbiasa pergi ke pasar untuk berdagang pakaian. Umar bin Khattab terbiasa mengangkut air dengan girbah untuk kepentingan keluarganya. Fatimah, anak Nabi, sering memutar batu penggiling hingga tangannya berbekas atau mengambil air dengan girbah hingga pundaknya luka. Imam Malik aktif berdagang, sedangkan Imam Ahmad bin Hambal sibuk menasakh, meneliti dan menyusun kitab-kitab. Imam Ahmad bin Umar, penyusun kitab tentang pajak tanah berprofesi ”penambal sepatu”. Ia menyelesaikan kitab di sela-sela kesibukannya sebagai penambal sepatu.

Bekerja dunia akhirat
”Dialah Allah yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik pekerjaannya.” (QS.Al Mulk:2)
Allah menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia, siapa yang terbaik pekerjaannya selama di dunia. Memahami hakikat mati dan hidup adalah penting, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan dunia dan akhirat kelak. Meninggalkan salah satunya hanya akan membawa bencana. Allah menekankan manusia agar memperhatikan dan menghargai kehidupan dunianya, di samping kehidupan akhirat yang memang seharusnya lebih dominan.
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kami lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS.Al Qashas:77)
”Yang terbaik di antaramu bukanlah orang yang meninggalkan akhirat demi dunianya, dan yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya, dan dia tidak menyusahkan manusia” (Al Hadist al Khatib dari Anas)

Syarat-syarat Produktifitas
Produktifitas dalam kehidupan umat Islam tentu saja tidak akan terwujud begitu saja. Berikut ini beberapa aspek yang dapat dilakukan dalam bekerja, antara lain:

1. Setiap muslim hendaknya selalu meningkatkan kualitas dirinya.
Jadilah manusia pembelajar! Karena hanya dengan belajar, setiap pribadi dapat meningkat kualitas dirinya, tumbuh dan berkembang, baik dari segi akal, ruhani maupun jasad. Aktifitas belajar dilakukan agar manusia secara alamiah berproses menjadi lebih dewasa dan berkualitas dalam menghadapi dan menilai kehidupannya.
Produktifitas sejalan dengan kualitas. Berkualitas berarti memiliki kemampuan. Setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan kemampuan; yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keterampilan (skill). Meningkatkan kualits diri adalah selalu belajar mematangkan ketiga hal tersebut.

2. Setiap muslim hendaknya me-menej waktu dengan baik
Asy-Syahid Hasan Al Banna mengatakan, ”Waktu adalah kehidupan”. Hasan Al Basri menasehato ”Sesungguhnya kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hati milikmu pergi, berarti pergilah sebagian dirimu. Waktu berjalan dan mustahil kembali. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin, karena menyiakannya termasuk tindakan jahil. Rasulullah SAW bersabda: ”Dua macam nikmat dari beberapa nikmat Allah yang banyak menipu manusia adalah nikmat kesehatan dan kekosongan (kesenggangan)” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

3. Bertawkakal Hanya kepada Allah
Tawakkal kepada Allah saat bekerja penting untuk membangun produktifitas. Tawakkal adalah bersandar kepada Allah, mengaitkan hati pada-Nya, memperhitungkan sebab-musabab dan menyerahkan hasil akhir kepada Allah semata. Konsep tawakkal dapat mendorong manusia menyisingkan lengan baju. Bersungguh-sungguh dalam berkiprah dan bekerja seraya mengharapkan hasil maksimal dari usaha yang telah dia korbankan, bukannya menanti takdir dari langit tanpa berusaha yang akibatnya mendorong manusia ke kemalasan dan kehancuran hidup. Nabi SAW bersabda: ”Upayakan dahulu masalahnya, lalu bertawakallah” (HR.Turmudzi

4. Kesesuaian antara Pekerjaan dengan Kecendurangan Aktualisasi Diri
Pekerjaan akan efektif dan produktif jika dicintai bukan dipaksakan.

Melakukan pekerjaan dibenci berarti melakukan ua kerja keras. Pertama mencoba mencintai pekerjaan itu, lalu melakukan pekerjaan itu sendiri. Jika seseorang yang mencitantai pekerjaannya maka dia telah mendayagunakan potensinya untuk beraktifitas, melaksanakan gagasan sekaligus mengaktualisasilkan dirinya.

5. Tidak bekerja dalam kelelahan
Seseorang akan bekerja dengan efektif ketika berada dalam kondisi sehat dan segar. Ada dua macam kelelahan: kelelahan fisik dan kelelahan pikiran. Keduanya saling berhubungan. Fisik yang terlalu lelah akan mengakibatkan emosi tidak stabil dan membuat otak tak mampu berpikir jernih. Bekerja dalam keadaaan lelah (fisik dan pikiran) selain mendzalimi diri sendiri juga dapat menyebabkan kejenuhan dan menggagalkan produktifitas. Rasul bersabda: ”Sesungguhnya pada badanmu terdapat hak-hak yang harus dipenuhi” (HR.Muslim)

6. Memanfaatkan Teknologi
Teknologi hadir untuk memudahkan pekerjaan. Darimanapun datangnya, ia adalah hikmah bagi umat Islam untuk dijadikan sarana mengefisienkan dan mengefektifkan usaha. Dengan teknologi, kerja akan jadi lebih produktif, hemat waktu dan tenaga.
Akhirnya, hidup ini hanya sekali. Kehidupan menurut al Qur’an adalah sesuatu yang menipu dan sekedar perhiasan di balik gemerlapnya. Akab lebih sia-sia jika tidak diisi dengan kontribusi. Ayo berbuat, ayo bekerja. Di bumi ini tidak ada tempat sama sekali bagia yang tidak mau bekerja dan berjuang dalam kehidupan. Wallahu a’lam
”Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (At Taubah:105)

Oleh: Novi Hardian (Training Development ILNA Learning Center)

Sumber: Majalah Al Izzaah No.13/Th.2, 31 Januari 2001

Dudukanlah, sampai terlihat keindahannya

Posted in Dien,Hikmah oleh Dwi Widya pada Januari 31, 2010

Hikmah hari ini teringatkan kembali bahwa kita perlu mendudukkan segala sesuatu itu pada batas-batas normalnya. Sehingga tidak cenderung berlebihan dan bahkan menjerumuskan. Keywordnya: batas-batas, tidak berlebihan. Mungkin itulah kenapa perlu ada tasamuh (toleransi).

Misal bagaimana menyikapi hal-hal yang mubah, namun ada sisi-sisi negatif dalam tersebut jika dilakukan tanpa kontrol dan niat yang benar, seperti halnya nonton film, mendengarkan musik, berselancar di dunia maya (fb-an, dll), bahkan makan, tidur, bergurau, dll. Fitrah dan tabiat manusia salah satunya adalah menyukai hal-hal yang mubah. Sayapun menyukai hal-hal tersebut, film yang bagus, lagu-lagu yang memotivasi, makanan enak, dll. Berikut ada beberapa kutipan terkait hal tersebut

***
Dasar pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahawa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali kerana ada nas yang sah dan tegas dari syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, iaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah –misalnya kerana ada sebahagian Hadis lemah– atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.

Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahawa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:

“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (al-Baqarah: 29)

“(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya.” (al-Jatsiyah: 13)

“Belum tahukah kamu, bahawa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak mahupun yang tidak nampak.” (Luqman: 20)

Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?

Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru kerana ada sebab dan hikmah
***

Jadi, kesimpulan saya…kita mesti pintar-pintar dan bijak bersikap. Agar tetap pada jalur yang benar. Setidaknya ketika kita sudah tahu hukumnya, maka ada itikad dan upaya untuk mencapainya. Bagaimanakah sikap yang bijak itu, berikut adalah satu referensi yang berhasil didapatkan…

***
Sesuatu disebut mubah adalah jika ia boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Semua urusan keduniaan hukum asalnya adalah mubah, sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Namun demikian, seorang muslim harus memiliki sikap yang benar dalam mengkonsumsi hal-hal yang mubah. Antara lain sebagai berikut:

1. Berniat ibadah dalam mengkonsumsinya, sehingga mendapat pahala dari Allah swt., sebagaimana sabda Rasulullah saw.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ . رواه مسلم
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. (HR Bukhari Muslim).

2. Mendahulukan yang terpenting kemudian yang penting, atau mendahulukan yang mendesak daripada yang kurang mendesak. Memang, kebutuhan manusia sangat banyak sedangkan kemampuannya untuk memenuhi terbatas, karenanya ia harus selektif dan memiliki skala prioritas yang jelas.

3. Meninggalkan hal-hal mubah yang dapat mengantarkan kepada yang haram. Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَبْلُغُ أَحَدُكُمْ دَرَجَةَ التَّقْوَى حَتَّى يَدَعَ مَالَيْسَ بِهِ بَأْسٌ إِلىَ مَا بِهِ بَأْسٌ . رواه الترمذي
Tidaklah salah seorang di antara kalian dapat mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus pada hal-hal yang tidak diperbolehkan. (HR Tirmidzi).

Meneladani Nabi Muhammad saw. dan salafusaleh dalam mengkonsumsi yang mubah. Rasulullah saw. selalu bersikap sederhana dan tidak berlebihan dalam hal yang mubah. Begitu juga dengan para sahabat dan ulama salaf. Beliau saw. bersabda, Orang mukmin makan dengan satu perut, sedang orang kafir makan dengan tujuh perut. (HR Bukhari)
Banyak ulama salaf yang zuhud dan meninggalkan gaya hidup berlebihan. Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, “Cukuplah seseorang disebut pemboros bila ia selalu makan apa-apa yang diinginkan.” (Riwayat Ahmad).

4. Tidak berlebihan dalam hal yang mubah baik secara kualitas maupun kuantitas. Allah swt. berfirman,
وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا …
Dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
(Al-Isra’/17: 26)

Tercelanya Sikap Berlebihan dalam Mengkonsumsi yang Mubah

Sikap berlebihan dalam mengkonsumsi yang mubah adalah sesuatu yang dilarang dan amat tercela, karena menimbulkan dampak negatif yang fatal, di antaranya adalah:

1. Terhalang dari kecintaan Allah. Allah swt. berfirman, Janganlah engkau berlebih-lebihan, sesungguhnya Dia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Al-A’raf/7: 31)

2. Menjadi saudara seitan. Firman Allah swt., Dan janganlah kamu menghamburkan hartamu secara boros, sesungguhnya pemboros itu saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (Al-Isra’/17: 26-27).

3. Allah menamainya sebagai orang yang bodoh. Allah swt. berfirman, Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (bodoh) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An-Nisa’/4: 5). Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa “orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha’)” adalah orang-orang yang boros dalam menggunakan hartanya.

4. Terjerumus dalam kekafiran dan nafsu syahwat, misalnya Fir’aun dan kaum nabi Luth a.s. Allah swt. berfirman, Dan sungguh ia (Fir’aun) termasuk orang yang melampaui batas (boros). (Yunus/10:83)
Tentang kaum Nabi Luth, Allah swt. berfirman, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (Al-A’raf/7: 81)

Terjerumus dalam kerusakan fisik dan psikis, seperti kelemahan fisik, kekesatan hati, tumpulnya fikiran, kehendak yang buruk, tidak memiliki daya tahan menghadapi masalah, dan kebangkrutan. Karenanya sebagai bentuk antisipasi terhadap semua dampak buruk ini, Rasulullah saw. bersabda,
“Tiga hal yang mendatangkan keselamatan … sederhana dalam keadaan kaya atau miskin” (HR…..).

5. Mendapat siksa di akhirat. Sabda Rasulullah saw.,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ …. عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اِكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ . رواه الترمذي
Kedua kaki seorang hamba tidak beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal… tentang hartanya, darimana ia memperoleh dan untuk apa ia membelanjakan. (HR Tirmidzi).

Maraji’
1. Abdul Hamid Hakim, Tahdzibul Akhlaq.
2. Sayyid Muhmammad Nuh, Afatun ‘Alaa Thariq.
3. An-Nawawiy, Riyadhus-Shalihin.
***

Subhanallah…indah bukan. Dengan tetap mengukur diri sendiri, terus meningkatkan kualitas dan kapasitas diri, terus belajar… itulah kenapa tarbiyah berlaku pada setiap diri ^_^.

Satu hikmah lagi, bahwa benturan terhadap idelaisme itu sangat penting dan tinggi sisi kebutuhannya. Agar tak terlalu terbang tinggi mengawang-awang dan sampai melupakan bumi tempat sesungguhnya berpijak. Tak lain tak bukan adalah untuk menguji idealisme itu sendiri. Seseorang tidak dikatakan beriman jika belum datang ujian terhadapnya bukan…?

Sekali lagi, indah…

Wa allahu a’lam bishshawab

sumber:
http://ayo-tarbiyah.blogspot.com/2009/10/tidak-berlebihan-dalam-mengkonsumsi.html
http://unikbin-ajaib.blogspot.com/2009/07/asal-tiaptiap-sesuatu-adalah-mubah.html

Optimis

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Januari 28, 2010

Hup!
Revitalisasi kinerja dan fungsi-fungsi pendukungnya, agar proses dan hasil kerja lebik efektif dan produktif, dengan penggunaan sumber daya yang efisien. Ada satu prinsip yang dipakai di sini ‘tak ada rotan akar pun jadi’. Walaupun jangan terus-terusan pakai akar. Nggak mungkin kan bangun jembatan penyebrangan di atas jalan raya pakai akar ^_^
Ini berlaku ketika memang sumber daya yang dimiliki masih jauh dari memadai, sedangkan mimpi, cita-cita, ide, gagasan, dkk yang dimiliki cukup atau bahkan sangat besar. Namun, tetap ada kompensasi dan pengorbanan, atau sebutlah cost yang harus dikeluarkan sebagai modal, agar prosentase ketercapaian gagasan itu lebih besar. Pastinya ada perhitungan-perhitungannya agar tercapai kesebandingan/proporsionalitas input-output dan untung-rugi dari segala aspek.
Okay…jika saat ini boleh dikatakan bahwa target=idealita, hasil saat ini=realita, dan jika target belum=hasil, maka selanjutnya adalah OPTIMIS!!! Keep pray and try, but not trial and error. Trial dengan perhitungan de el el…
Bismillah. Tanpa melupakan untuk menyerahkan hasil sepenuhnya pada yang paling berhak menentukan dan get maximized seluruh potensi untuk berusaha…berdoa juga.

Menyukai yang Dikerjakan

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Januari 5, 2010

‘Menyukai yang Dikerjakan’

Tahukah, perkataan siapa itu? Bukan sabda Nabi saw dan bukan pula perkataan seorang ulama besar. Seorang sahabat, saudara, sekaligus guru pernah berkata demikian dalam sebuah acara. Saat itu sekitar 7-8 tahun yang lalu. Dan sepertinya saat itu tak cukup mampu untuk langsung mencerna maknanya. Kalimat sederhana itu terlontar ketika ia menjawab pertanyaan “Apa motto hidup Anda?”. Sepintas saat itu tidak terdengar seperti motto hidup yang luar biasa, seperti halnya jihad fiisabilillah, atau sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain, atau motto hidup lainnya yang teruntai dalam kalimat yang berat. Beliau sempat menjelaskan maksud kalimat itu adalah “apapun yang menjadi tugas kita, pekerjaan kita, atau amanah yang diembankan kepada kita, haruslah dilakukan dengan rasa suka”. Seseorang spontan berkata “bukannya memang biasanya orang melakukan apa yang dia sukai, kenapa harus mengerjakan hal yang tidak disukai?”. Beliau hanya tersenyum.

Beberapa waktu setelah itu, seiring dengan interaksi dengan saudaraku itu. Ternyata motto hidupnya begitu dalam, tak kalah istimewa dengan motto hidup lain dengan kalimat yang terkesan berat. Makna ketauhidan yang menjadi landasan hidupnya. Tentang keyakinan dan kepasrahan yang tepat. Tak bisa dielakan bahwa apa yang pernah atau saat ini terjadi pada diri seseorang (apakah itu sesuai dengan perencanaannya ataupun tidak) tentu tidak (akan pernah) lepas dari kuasanya. Takdir.

Menyukai segala hal yang kita kerjakan berarti memasrahkan hati atas segala ketentuannya, ikhlas dengan segala pemberiannya berupa waktu-waktu yang terisi dengan berbagai aktivitas, mengoptimalkan segala anugerahNya berupa potensi internal dan eksternal untuk menjalankan suatu pekerjaan/amanah/tugas dihadapan kita saat ini juga.

Bukan tidak sulit untuk merealisasikannya. Teringat suatu peristiwa, dimana saat itu tak bisa memilih, atau mungkin tak sanggup memilih, sampai akhirnya jatuhlah tugas atau pekerjaan itu di tangan dan pundaknya. Tugas yang tidak ringan, tapi banyak orang pernah berhasil melaluinya. Namun terasa begitu lama dan berat, serta sulit sekali tugas itu. Bukan tidak berupaya, namun waktu-waktunya juga diisi dengan menghitung hari (sampai hari tugas itu berakhir), berharap waktu segera berlalu. Akhirnya ada kesempatan emas yang terlewatkan (kesempatan untuk meng-improve diri, meluaskan ruang lingkup, dll), juga kehilangan ruang-ruang investasi yang kata seorang teman lainnya ‘bau surga’. Perasaan lega mungkin hinggap pada akhir fase itu, namun penyesalan ternyata ingin masuk lebih dalam.

Jika ada yang berkata “kenapa harus melakukan atau mengambil sesuatu yang tidak kita suka jika ada banyak hal menyenangkan bisa kita ambil?”. Maka, demikian pun tak salah baginya, namun cukup baginya mendapatkan dan melakukan apa yang Allah tunjukan dan berikan sebaik mungkin. Tidak akan rugi dan menyesal selama bertolak dari landasan pacu yang tepat, dengan tetap berikhtiar dalan perencanaan dan mengevaluasinya. Kesungguhan pun menjadi kuncinya.

Menyukai yang dikerjakan. Prinsip yang ternyata terformulasi dari kefahaman yang dalam akan makna hidup; niat yang tulus dan jujur; keberanian untuk menghadapi tantangan sekligus peluang; keyakinan sekaligus pembuktian dari keyakinannya; rasa syukur atas banyaknya nikmat dari Pemilik hidup sesungguhnya; ikhtiar untuk memberi kontribusi dalam setiap tempat kebaikan,…dan mungkin lebih banyak lagi hal yang turut andil dalam formula tersebut.

Hmm…semoga selalu bisa seperti itu ya…Innamal a’maalu biniyyaati

To someone special over there….Jazakillah. I got a lot of inspirations, brilliant ideas, and motivating influences. I’ll keep all of them, Insya Allah

Antusiasme (Ukasah) Merespon Kebaikan

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Desember 29, 2009

Salah satu cara untuk meningkatkan kembali semangat kita dalam bergerak adalah dengan menapaki jejak para sahabat. Ingatkah kita akan seorang sahabat bernama Ukasah? Ya, dia yang pada saat-saat terakhir kehidupan Rasulullah mengatakan bahwa ia pernah disakiti rasul dan ingin membalas dengan mencambuknya. Namun yang terjadi adalah Ukasah memeluk erat dan menciumi punggung rasulullah sambil menangis. Hingga kemudian rasulullah berkata “Ukasah, apabila Allah mengizinkan, kamu akan masuk surga bersamaku”. Ukasah, salah satu sahabat yang mendapatkan jaminan luar biasa langsung dari Rasulullah, semangatnya patut diteladani sebagai modal kita menapaki jalan kebaikan.

Suatu hari Rasulullah bangun tidur dan bercerita bahwa ada sebanyak 70.000 umatnya akan masuk surga Allah tanpa dihisab. Ukasah mendengar cerita tersebut. Ukasah kemudian bertanya langsung kepada Rasulullah, “Apakah aku salah satunya?”. Akhirnya Rasulullah kembali tidur untuk memperjelas mimpinya kembali. Dan setelah bangun kembali, rasulpun menjawab “Engkau bersama mereka”. Mendengar hal yang terjadi pada Ukasah, maka para sahabat yang lain satu per satu bertanya kepada Rasul. “Bagaimana denganku?”. Rasulullah menjawab “Kamu telah ketinggalan dari Ukasah”.
Dari situlah terlihat Ukasah sebagai sosok sahabat Rasulullah yang memiliki antusiasme tinggi dalam merespon kebaikan.

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (Al Anfal:24)

Ayat tersebut menunjukan suatu kewajiban untuk bersegera memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya, dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena hal itu merupakan bagian dari kehidupan seorang Muslim.

Terkadang kita bisa menjadi orang yang begitu cepat merespon sesuatu hal, namun terkadang juga tidak. Timbul keraguan bahkan keengganan dan rasa menyepelekan, sekalipun hal yang datang adalah suatu hal yang kita tahu itu wajib dan berupa kebaikan.

Pada penggalan ayat di atas, “Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya…”. Hikmah dari penggalan ayat tersebut adalah peringatan besar kepada kaum Mukminin bahwa bilamana mereka diberi kesempatan untuk berbuat baik, maka hendaknya menggunakannya sebelum kesempatan itu luput, apalagi bila ia merupakan dakwah dari Allah dan Rasul-Nya, sebab Allah Maha Mampu untuk membatasi antara manusia dan apa yang diinginkannya, antara seseorang dan hatinya, dengan membolak-balikkan hati dan mengarahkannya ke arah yang lain sehingga ia tidak menyukai kebaikan dan suka kepada keburukan.

Mari kita ingat kembali kisah pada suatu malam di medan Ahzab. Atas kehendak Allah, malam itu menjadi malam yang mencekam bagi para sahabat, tentara perang Khandak. Cuaca dingin luar biasa hingga membuat para tentara Allah merasakan lapar yang amat sangat, hingga tubuh mereka tak mampu beranjak dari kulit bumi. Namun pada saat itulah rasulullah menyerukan suatu kebaikan. Rasul memerintahkan siapa diantara tentara-tentara tersebut yang bersedia menjadi mata-mata. Namun aneh, tak terlihat antusiasme para sahabat sebagaimana mereka seringkali diperlihatkan pada setiap instruksi rasul, sampai-sampai rasulullah mengulang-ulang instruksinya. Hingga pada akhirnya rasulullah menunjuk Hudzaifah untuk pergi mencari informasi dari pihak musuh. Sampai pada titik inilah kemudian konteks ketaatan muncul, dalam kondisi ringan ataupun berat.

Banyak jejak yang mengisahkan antusiasme para jundullah dalam kebaikan. Pada situasi dan kondisinya masing-masing pun tentu ada tantangannya tersendiri. Saat ini, kebaikan yang ada didekat masing-masing kita hadir dalam berbagai rupa. Bahkan bukan tak jarang kemaksiatan hadir dalam rupa yang nampak elok di mata kita, dan berlaku justru berlaku sebaliknya untuk kebaikan. Jika sudah seperti itu, maka bagaimana mungkin bisa muncul antusiasme tinggi untuk merespon kebaikan yang hadir dalam rupa yang tak enak dipandang mata. Itu jika kita menilik kebaikan dari segi rupa. Nah jika kita lihat dari sisi level atau kadarnya. Kata seseorang kebaikan kadang menyelinap di antara ruang-ruang gerak kita, kadang tak disadari, atau disadari namun dirasa tak seberapa pentinglah. Akhinya menyepelekan untuk menyambutnya.

Diperlukan beberapa modal agar antusiasme itu ada pada setiap diri.
1. Pemahaman yang benar tentang kebaikan dan pemahaman bahwa dirinya harus senantiasa bersama kebaikan. Pemahaman yang benar tentang kebaikan yang akan membantu untuk mengidentifikasi setiap saat kebaikan itu hadir. Dan pemahaman bahwa dirinya harus senantiasa bersaa kebaikan yang akan mendorong diri untuk selalu mencari-cari kebaikan, menciptakan kebaikan, dan berjalan bersama kebaikan.
2. Keinginan untuk mewariskan kebaikan pada diri seseorang. Pewarisan disini bukan berari bahwa pahala dan keimanan dapat terwariskan secara otomatis. Namun pewarisan dengan keteladanan, kebaikan yang dilakukan…pewarisan dengan proses tarbiyah. Pada poin ini teringat suatu pengalaman yang sampai saat ini menjadi salah satu nilai yang tetap dipegang. Dulu, seorang guru senantiasa mengingatkan di kala kami memegang suatu amanah kepemimpinan. “Jika anti ingin ‘adik-adik’ anti baik, maka anti dulu yang harus baik, jika anti ingin staf-staf anti bersemangat dan ontime datang rapat maka anti dulu yang mesti membakar semangat itu dan datang lebih awal saat rapat”. Juga pada saat kami mengeluh ketika ‘adik-adik’ kami ada yang ber’masalah’, atau kami putus asa dengan dinamika organisasi. Justru pertanyaan dibalas dengan pertanyaan “Bagaimana tilawah anti setiap harinya?”, dan lain sebagainya. Sampai di sini, tarbiyah mentarbiyah menjadi keniscayaan ketika kita ingin kebaikan itu ada pada diri seseorang.
3. Penuh kesabaran dan semangat konsistensi Kesabaran dan semangat, sekilas nampak tak bisa bersanding. Kesabaran yang identik dengan kediaman dan semangat yang identik dengan keagresifan. Tentu tak sesempit itu. Kesabaran agar dapat tetap teguh dalam kebaikan akan ada jika setiap diri memiliki semangat keistiqomahan dalam memenuhi panggilan Allah dan rasulNya.

Lebih dari seorang periwayat meriwayatkan dari Nabi SAW, sabda beliau,
“Allaahumma Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit Qalbii ‘Ala Diinik (Ya Allah, Wahai Yang membolak-balikkan setiap hati, mantapkanlah hatiku di atas dien-Mu).”

Dalam riwayat Muslim dinyatakan,
“Allaahumma Musharrifal Quluub, Sharrif Quluubana Ila Thaa’atik
(Ya Allah, Yang merubah setiap hati, rubahlan setiap hati kami kepada berbuat ta’at kepada-Mu).”

Semoga antusiasme tinggi dalam merespon kebaikan selalu ada dalam diri kita semua. Fastabiqul Khairat. Waallau a’lam bishawab

*mengabadikan sebuah tausiyah dalam note dan.. share it to you^^
Sumber: Majalah Tarbiyah (edisi lamaaa)
Hikmah dan Mutiara Hadits (www.alshofwah.or.id)
Catatan2 pribadi

Nice note (tentang Iman)

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada Desember 3, 2009

(Paste note dari teman)

Iman seorang mukmin akan tampak di saat ia menghadapi ujian , di saat ia totalitas dalam berdoa tapi belum melihat pengaruh apapun dari doanya.
Ketika ia tetap tidak mengubah keinginan dan harapannya meski sebab-sebab untuk putus asa semakin kuat.
Itu semua dilakukan seseorang karena keyakinannya bahwa hanya Allah saja yang paling tahu yang lebih baik untuk dirinya (Ibnu Jauzi)

Jika duri tertancap di kaki
Bukan alasan untuk berhenti selamanya
Ambil duri yang menancap
Lalu mulailah melangkah lagi

Ketika langkah tertatih
menahan sakit dan perih
yakinlah bahwa itu bukanlah derita
melainkan sebagian cara-Nya mengajari kita

-mengapa harus bersedih, jika pilihan bahagia itu masih ada-
^_^

Keberanian

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada November 25, 2009

Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan resiko. Dan, tak ada keberanian tanpa resiko.

Naluri kepahlawanan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.

Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Quran. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Cobalah perhatikan betapa Al-Quran memuji ketegaran dalam perang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada resiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadis riwayat muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada dibawah naungan pedang?” Adakah makna lain, selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke surga? Maka, dengarkanlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.”

Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap dan jalan hidup, kepercayaan pada akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru kepada Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Masud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid.

Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka, beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lan jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.”

Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memenah, kekuatan itu pada memanah.” Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka, dengarlah nasihat Umar, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”

Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian. ” Roh kebereranian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?

Anis Matta, ‘Serial Kepahlawanan’.

Cara Memilih Jalan

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada November 24, 2009

Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Abu Nawas tidak keberatan. Mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil bercengkrama.
Tak terasa mereka telah menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti karena mereka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.

Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali. Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan? Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata, “Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.”

“Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?” tanya Abu Nawas.

“Tidak.” jawab kawan Abu Nawas singkat.

“Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak.” usul Abu Nawas.

Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya.

Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu.

“Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja. Tidak boleh lebih.” katanya. Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri.

“Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawan-kawannya.

“Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka.

“Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri.” kata Abu Nawas.

Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan. “Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?” Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.

http://feeds.feedburner.com/blogspot/HPzr

Cari Bekal

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada November 19, 2009

Alhamdulillah…
Selamat untuk teman, sahabat seperjuangan, dan adik-adik yang berhasil melalui 1 episode hidup di kampus. Barakallah.
Untuk teman-teman yang masih setia di garis perjuangan kampus, jangan putus asa yah…
Setelah meng-sms beberapa teman, ada satu balasan yang lumayan eMJeJe.
Welcome to the jungle” begitu sedikit petikan sms-ku. And she replied “ukhtiy…berharap pengalaman dalam rimba hidup membuat kita semakin kaya dengan bekal menuju kehidupan yang kekal”. Jazakillah sista

Kuncup Mujahidah

Posted in Hikmah oleh Dwi Widya pada November 19, 2009

Kami senantiasa berhimpun dalam satu forum yang biasa ku sebut taman cinta. Ada dua taman cinta yang kini telah menjadi lukisan dalam memoriku. Mereka adalah kuncup-kuncup mujahidah (begitu biasa kusebut dalam tiap sms remainder, motivasi, atau undangan), yang menjadi pengunjung taman itu. Sekarang mereka bukan lagi kuncup, mereka adalah bunga mujahidah yang mengharumkan taman-taman cinta yang lain dan sudut perjuangan dalam ruang lingkupnya masing-masing. Namun, mereka tetaplah mutiaraku.

Ahad pagi, beberapa buku sudah kusiapkan sejak malam harinya, lembar-lembar penunjang, spidol, juga sudah siap. Tak lupa sedikit cemilan dan teh hangat kuhidangkan untuk menegakan tulang punggung dan merekahkan senyum mereka, karena tanpa itu ada saja yang nyeletuk “mbak nggak ada logika nih tanpa logistik”. Every sunday morning, the best smile and best performance, special for kuncup mujahidahku.

Sejak semalam sampai setengan jam sebelum gerbang taman cinta dibuka, tak jarang di Hud-hud berkicau “tut tut tut tut”, bisa ditebak, “mbak afwan ijin telat ya…10 menit aja” atau “afwan mbak, njemput si Fulanah dulu ya, jadi kayanya telat”, ada juga yang dengan rasa bersalah “mbak, siap di iqob. Ijin telat 30 menit, ngurus acara di fakultas dulu, nggak ada yang lain”. Bagi kami, itu adalah salah satu fragmen yang akan menjadi pelajaran berharga akan nilai waktu, komitmen, dan kepercayaan.

Adanya mereka adalah penyemangat, pengingat, juga pelipur, saat merasa lelah berjalan dan jenuh berfikir.
Saat merasa kecewa dengan dinamika yang ada, justru kecewa itu adalah cambukan yang membuatku berfikir, kesalahan apa yang kulakukan hingga mereka tak seperti yang seharusnya? Bisa jadi mereka lebih kecewa.
Adanya mereka justru membuatku menerima lebih, dengan sedikit memberi.
Sungguh, mendidik berarti membuatku terdidik; melatih menjadikanku terlatih; mendewasakan membuatku terdewasakan; mengingatkan berarti aku jadi teringatkan.
Dan, di akhir kebersamaan kami…”Mbak, You will always be our Murobbi”, dengan senyum haru ku jawab “of course dear…dan kalian akan selalu menjadi mutiaraku”

Jika cinta yang ada karena kecintaan padaNya, semoga rindu yang ada juga karena kerinduan padaNya
^_^

Laman Berikutnya »